Menurut Colquitt (2011), "decision making refers to the process of generating and choosing from a set of alternatives to solve a problem."
(pengambilan keputusan merujuk ke proses membangkitkan dan memilih dari
seperangkat alternatif untuk memecahkan persoalan).[ Colquitt, Jason
A., Jefferey A. LePine, & Michael J. Wesson. 2011. Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. Second Edition. New York: McGraw-Hill/Irwin. Hlm. 259.]
Ditambahkan oleh Colquitt, semakin banyak pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki karyawan, semakin besar pula kemungkinannya mereka akan
membuat keputusan yang akurat dan mantap.
Menurut Rose, sebagaimana dikutip dalam Teale (2003), decision making atau pengambilan keputusan adalah: "Acts
of choice between alternative courses of action designed to produce a
specified result, and one made on a review of relevant information
guided by explicit criteria" (tindakan-tindakan memilih di antara
alur-alur tindakan alternatif, yang dirancang untuk memunculkan hasil
tertentu, dan yang dibuat berdasarkan peninjauan terhadap informasi yang
relevan, yang dibimbing oleh kriteria yang eksplisit). [ Teale, Mark,
et.al. 2003. Management Decision Making: Towards an Integrative Approach. Harlow: Pearson Education Limited. Hlm. 6-7.]
Menurut Shull, sebagaimana dikutip dalam Teale (2003), decision making atau pengambilan keputusan adalah: "A
conscious and human process, involving both individual and social
phenomena, based upon factual and value premises, which includes a
choice of one behavioral activity from one or more alternatives with the
intentional of moving towards some desired state of affairs"
(sebuah proses sadar dan manusiawi, yang melibatkan fenomena individu
dan sosial, berdasarkan pada premis faktual dan nilai, yang mencakup
suatu pilihan aktivitas perilaku dari satu atau lebih alternatif, dengan
niat bergerak ke arah sejumlah keadaan yang didambakan."
Menurut Harrison, sebagaimana dikutip dalam Teale (2003), decision
making atau pengambilan keputusan adalah: "A moment, in an ongoing
process of evaluating alternatives for meeting an objective, at which
expectations about a particular course of action impel the
decision-maker to select that course of action most likely to result in
attaining the objective" (sebuah momen, dalam suatu proses
berkesinambungan pengevaluasian alternatif-alternatif bagi pencapaian
tujuan, di mana harapan-harapan tentang alur tindakan tertentu mendorong
si pengambil keputusan untuk menyeleksi alur tindakan yang paling
memungkinkan menghasilkan tercapainya tujuan).
Menurut Mintzberg, sebagaimana dikutip dalam Teale (2003), decision
making atau pengambilan keputusan adalah: "A commitment to action"
(sebuah komitmen bagi tindakan).
Metode Pengambilan Keputusan
Keputusan terprogram (programmed decisions) adalah keputusan yang
dengan satu dan lain cara bersifat otomatis, karena bekal pengetahuan
orang bersangkutan memungkinkan mereka mengenali dan mengidentifikasi
sebuah situasi dan alur tindakan yang perlu diambil. Adanya pengalaman
sebelumnya dan pengetahuan membuat mereka dapat melihat problem dengan
lebih mudah, dan mengenali serta menerapkan solusi secara lebih cepat.[
Colquitt, Jason A., Jefferey A. LePine, & Michael J. Wesson. 2011.
Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the
Workplace. Second Edition. New York: McGraw-Hill/Irwin. Hlm. 267.]
Keputusan tak terprogram (unprogrammed decisions) adalah
keputusan manakala situasi yang muncul bersifat baru, kompleks, dan
tidak dikenal. Organisasi memang bersifat kompleks, ada berbagai
perubahan lingkungan, dan banyak pekerja menghadapi ketidakpastian
setiap hari. Dalam contoh semacam ini, para karyawan harus mengerti
lingkungan kerjanya, memahami problem yang dihadapi, dan muncul dengan
solusi-solusi untuk mengatasinya.[ ibid. Hlm. 270.]
Sebagai aturan umum, ketika seorang karyawan semakin meningkat jabatan
atau posisinya di organisasi, akan semakin besar pula persentase
keputusan-keputusan mereka yang tidak terprogram.
Dalam konteks semacam itu (situasi bersifat baru, kompleks, dan tidak
dikenal), proses pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan beberapa
cara:
Model pengambilan keputusan yang rasional (rational decision-making
model) menawarkan pendekatan tahap-demi-tahap untuk membuat keputusan,
yang memaksimalkan hasil dengan menguji semua alternatif yang tersedia.
Model ini relevan jika orang melihat problem yang mereka hadapi tidak
sama seperti yang pernah mereka tangani sebelumnya.
Tahapan Model Pengambilan Keputusan yang Rasional:
Tahap 1. Mengidentifikasi kriteria yang penting dalam membuat keputusan, dengan memperhitungkan semua pihak yang terlibat.
Tahap 2. Membuat daftar semua alternatif yang tersedia, yang mungkin bisa menjadi solusi potensial bagi problem yang dihadapi.
Tahap 3. Mengevaluasi semua alternatif, berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan di tahap 1.
Tahap 4. Menyeleksi alternatif yang memberikan hasil terbaik.
Tahap 5. Mengimplementasikan alternatif yang sudah dipilih tersebut.
Model ini mengasumsikan, manusia sepenuhnya rasional. Namun, persoalan
mulai muncul ketika kita mulai mengkaji beberapa asumsi yang dibuat
model ini, tentang sang pengambil keputusan yang manusiawi.
Diasumsikan, ada problem yang jelas dan pasti untuk dipecahkan, dan
orang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi apa persisnya problem
itu. Diasumsikan juga, si pengambil keputusan memiliki informasi yang
sempurna -- bahwa mereka tahu dan mampu mengidentifikasi
alternatif-alternatif yang ada, serta hasil-hasil yang diasosiasikan
dengan alternatif-alternatif tersebut.
Lebih jauh, model ini mengasumsikan, waktu dan uang tidak menjadi
masalah ketika membuat keputusan, sehingga si pengambil keputusan selalu
bisa memilih solusi yang memaksimalkan nilai, dan bahwa mereka akan
berbuat untuk kepentingan terbaik organisasi. Kenyataannya, dunia
tidaklah sesempurna yang diasumsikan.
Walaupun sebagian besar karyawan memandang dirinya sendiri sebagai
pengambil keputusan yang rasional, kenyataannya mereka semua terjebak
dalam rasionalitas terbatas (bounded rationality).
Rasionalitas terbatas (bounded rationality) adalah keadaan di
mana pengambil keputusan tidak memiliki kemampuan atau sumber daya untuk
memproses semua informasi dan alternatif yang tersedia, untuk membuat
sebuah keputusan yang optimal.
Keterbatasan ini memunculkan dua persoalan utama bagi pembuatan keputusan:
Pertama, orang harus menyaring dan menyederhanakan informasi, untuk
memudahkan memahami lingkungan problem yang rumit dan sebegitu banyaknya
pilihan potensial yang mereka hadapi. Penyederhanaan ini mendorong
mereka untuk tidak melihat semua informasi, ketika memandang problem,
memunculkan dan mengevaluasi alternatif-alternatif, atau menilai
hasil-hasilnya.
Kedua, karena orang tidak mungkin mempertimbangkan setiap alternatif
satu-per-satu ketika membuat keputusan, mereka cepat berpuas diri.
Pemuasan terhadap hasil terjadi ketika pengambil keputusan memilih
alternatif pertama yang bisa diterima, dari sekian alternatif yang
dipertimbangkan. Selain itu, pengambil keputusan cenderung memilih
alternatif yang bersifat langsung dan tidak terlalu berbeda dengan apa
yang sudah mereka lakukan.
Dampak Pengambilan Keputusan terhadap Kinerja Pekerjaan
Pengambilan keputusan, sebagai turunan dari fungsi pembelajaran
(learning), memiliki dampak terhadap kinerja pekerjaan. Uraiannya
sebagai berikut:
Colquitt (2011) menyatakan, berdasarkan penelitian, pembelajaran
memiliki pengaruh positif yang moderat terhadap kinerja pekerjaan.
Berkat adanya pembelajaran, karyawan memperoleh lebih banyak pengetahuan
dan keterampilan, dan dari sini mereka cenderung memiliki tingkatan
kinerja tugas yang lebih tinggi.
Menurut Colquitt, pembelajaran sangat penting karena memberi dampak
signifikan terhadap pengambilan keputusan. Hal itu terjadi karena
peningkatan keahlian, yang diperoleh dari tambahan pengetahuan dan
keterampilan, membuat karyawan dapat mengambil keputusan secara lebih
cepat, serta mampu menghadirkan alternatif-alternatif tindakan yang
lebih baik. Dan pada gilirannya, hal ini juga akan berdampak pada
kinerja tugas yang lebih baik.
Colquitt beranggapan, kesimpulan dampak "moderat" dari pembelajaran
terhadap kinerja pekerjaan --seperti yang terungkap dalam sejumlah
penelitian-- mungkin merupakan penilaian yang terlalu dikecilkan. Dampak
dari pembelajaran terhadap kinerja pekerjaan sebenarnya mungkin jauh
lebih besar.[ Colquitt. Op cit. Hlm. 278-280.]
Hal ini karena pada sebagian besar penelitian, dampak pembelajaran hanya
difokuskan pada pengetahuan eksplisit, yang lebih mudah dan praktis
untuk diukur. Padahal, dari pembelajaran itu juga diperoleh jenis
pengetahuan lain yang tersirat (tacit knowledge), yang sulit dijabarkan,
tetapi jelas relevan dan penting dalam mempengaruhi kinerja pekerjaan.san kolonial Inggris itu, kemudian telah bertransformasi
menjadi tokoh kemerdekaan India dan pejuang gerakan tanpa kekerasan.
Sampai saat ini Gandhi masih menjadi sumber inspirasi dan rujukan bagi
berbagai orang di seluruh dunia bagi gerakan tanpa kekerasan.